MAGETAN – Rencana penyelenggaraan pilkades serentak dengan sistem e-voting ternyata menguras anggaran. Pasalnya, pengadaan satu unit finger print yang dipakai untuk memilih calon kepala desa (cakades) dibutuhkan Rp 54 juta.
Di lain sisi ada 184 desa yang bakal menggelar tahapan pilkades pada November mendatang. Belum lagi kapasitas alat itu terbatas. Karena hanya mampu merekam hasil perolehan 1.000 suara. ‘’Sementara, kebutuhannya satu desa harus ada tiga alat,’’ terang Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Magetan Iswayudi Yulianto Selasa (14/5).
Dia menambagkan sebuah finger print sebenarnya mampu merekam hasil perolehan suara seluruh penduduk desa. Tetapi dampaknya ada pada waktu pelaksanaan yang bisa saja molor sampai dengan pukul 22.00. Sementara, berdasarkan regulasi yang ada pemungutan suara maksimal harus sudah selesai sejak pukul 13.00.
Berkaca dari persoalan itu, Yuli akhirnya mempertimbangkan untuk menggunakan lebih dari satu finger print untuk satu desa. Terlebih proses pemilihan dibagi dalam beberapa daerah pemilihan (dapil). ‘’Jadi, nanti sistemya offline. Setelah pemungutan suara selesai, baru direkap,’’ ungkapnya.
Berapa besar kebutuhan anggaran pilkades? Yuli menyebutkan pihaknya sudah menyiapkan anggaran sekitar Rp 7,8 miliar untuk pelaksanaan tahapan pesta demokrasi tingkat desa tersebut. Namun demikian, dana sebesar itu tidak hanya untuk pengadaan alat pemungutan suara.
Di mana, menurutnya, setengah dari alokasi anggaran tersebut digunakan sebagai bantuan operasional desa untuk pelaksanaan pilkades. Alhasil hanya sekitar Rp 3,9 miliar saja yang dipakai untuk pengadaan alat e-voting.
Sementara apabila dikalibrasikan sesuai dengan kebutuhan alat tersebut di setiap desa diperkirakan anggaran yang mesti disiapkan mencapai Rp 29,8 miliar. ‘’Nah, kami tidak mungkin membeli semua alat. Harus ada alternatif,’’ ujar Yuli.
Dia menambahkan kondisi itu makin berat karena Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang memiliki program e-voting hanya mampu membantu lima alat. Itu pun dengan menerapkan sistem sewa. ‘’Sehingga, kekurangan harus kami yang menanggung,’’ ungkapnya.
Meski demikian, Yuli menyatakan mengacu pada MoU dengan BPPT bakal ada pendampingan pengadaan alat tersebut. Di mana alat itu bisa diperoleh dari pihak ketiga yang sudah ditunjuk oleh BPPT. ‘’Namun, prosesnya tetap melalui lelang seperti pengadaan barang lainnya,’’ terangnya.
Dengan segala kemungkinan itu, lanjut Yuli, pelaksanaan pilkades serentak diperkirakan bakal dibuat beberapa gelombang. Karena semua juga tergantung dari banyaknya alat e-voting yang mampu dibeli oleh pemkab. ‘’Jika melihat anggaran yang tersisa, kami hanya bisa membeli sebanyak 72 alat saja,’’ sebutnya.
Sedangkan kebutuhan secara keseluruhan alat e-voting ada sebanyak 522 alat. Menyikapi persoalan itu, Yuli mengatakan pilkades bakal dilaksanakan beberapa hari. Hanya pelaksanaan tahapan hingga pelantikan tetap dilakukan serentak. ‘’Kami serahkan kepada bupati berapa alat yang akan dibeli nantinya,’’ katanya.
Diakuinya, secara kualitas tidak ada ruginya pemkab membeli alat tersebut. Selain mempercepat proses pelaksanaan pilkades, alat itu bisa digunakan untuk menunjang kebutuhan organisasi perangkat daerah (OPD) dalam melayani masyarakat. ‘’Tetap bisa digunakan untuk keperluan lain. Jadi, sifatnya jangka panjang,’’ jelasnya. (bel/her)