MADIUN, Jawa Pos Radar Madiun – Nasib petani porang di ujung tanduk. Kini, ekspor komoditas tanaman umbi-umbian itu macet. Terutama tujuan Tiongkok. Penyebabnya ada banyak hal. ‘’Ekspor ke Tiongkok paling dominan, 70 persen. Tapi, tahun ini tidak bisa,’’ kata Dewan Pengawas Perkumpulan Petani Porang Indonesia (Peporindo) Dikir, Sabtu (7/5).
Menurut Dikir, standardisasi yang jadi biang kemacetan ekspor porang. Baik komoditas maupun pabrik pengolahan. Termasuk kejelasan lokasi tempat penanaman porang. Dia mengatakan, Tiongkok bersedia menerima porang dari Indonesia bila standardisasi sudah jelas. ‘’Untuk lahan, saat ini sudah dalam proses registrasi,’’ ujarnya.
Dikir mengungkapkan, standardisasi pabrik pengolahan yang jadi penyebab utamanya. Sebab, sebelumnya ekspor porang ke Negeri Tirai Bambu itu tidak langsung. Melainkan lewat Vietnam dan Myanmar lebih dulu yang sudah punya standardisasi pabrik pengolahan. Kondisi itu berbanding terbalik dengan Indonesia. ‘’Pabrik belum menerima ketentuan standar karena Tiongkok akan mengirim itu setelah rekomendasi lahan porang selesai,’’ tuturnya.
Ketergantungan pasar ekspor ke Tiongkok membuat petani tanaman bernama ilmiah Amorphophallus muelleri itu kelimpungan. Sebab, sekitar dua-tiga tahun lalu harga porang maupun katak gila-gilaan. ‘’Kami berharap pemerintah dapat mencarikan solusi dengan lebih concern ke porang. Selain itu, agar negara tujuan ekspor porang semakin banyak,’’ ungkap Dikir.
Petani porang dipastikan ketar-ketir. Sebab, kebingunan pasar ekspor tentu berdampak ke pendapatan. Sementara, para petani juga punya tanggungan kredit usaha rakyat (KUR) dari bank. ‘’Kalau tak bisa jual porang, bagaimana dengan KUR? Per petani rata-rata ambil Rp 50 juta. Di ujung tanduk nasib petani porang saat ini,’’ tandasnya. (den/c1/sat/her)