PACITAN, Jawa Pos Radar Madiun – Data wajib pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) di Pacitan kedaluwarsa. Hal itu terungkap dari hasil laporan panitia khusus (pansus) XIX DPRD. Pansus yang diketuai oleh Anung Dwi Ristanto tersebut mengungkapkan bahwa data wajib pajak (WP) saat ini merupakan hasil warisan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama pada 2014.
”Dari situ saja bisa dilihat bahwa data tersebut tentu kurang relevan,” kata Anung kemarin (19/3).
Dia menjelaskan data WP itu dianggap kurang relevan sekarang karena adanya perubahan kondisi bangunan di tengah masyarakat selama kurun 2014-2023. Sehingga, pihaknya merekomendasikan kepada pemkab untuk dilakukannya pemutakhiran maupun perbaikan data WP. ”Mungkin kalau data tanah tidak berubah, tapi kalau data bangunan pasti berubah,” jelas politisi Partai Demokrat tersebut.
Lebih lanjut, Anung mengungkapkan pansus juga membahas terkait optimalisasi PBB-P2. Menurutnya, pengenaan PBB-P2 selama ini belum sesuai dengan azas keadilan. Karena pengenaannya sama antara WP pemilik sedikit tanah dan bangunan dengan mereka yang memiliki banyak objek. ”Kalangan masyarakat yang bisa dikatakan rendah, yo ben regane (PBB-P2) murah, yo WP yang memiliki banyak tanah dan bangunan otomatis mahal,” terangnya.
Anung menyebutkan pengenaan PBB-P2 ada dua macam, yakni khusus dan umum. Nah, yang menjadi penekanannya adalah pengenaan PBB-P2 khusus terutama menyangkut pemanfaatan lahan maupun bangunan untuk kepentingan usaha. Karena objek yang digunakan untuk usaha dipastikan berdampak pada kondisi lingkungan. Sehingga, perlu dilakukan penghitungan PBB-P2. ”Sejauh ini (pengenaan PBB-P2 khusus) belum dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda),” ungkap Ketua Komisi III DPRD Pacitan itu.
Terkait kondisi tersebut, pihaknya lantas meminta kepada pemkab untuk merumuskan regulasi pengenaan PBB-P2 khusus. Misalnya mengenai pendirian menara telekomunikasi atau Base Transceiver Station (BTS) dan pembangunan menara transmisi listrik saluran udara tegangan tinggi (SUTT). ”Atas dasar itu kemudian perlu dihitung, butuh dinilai dan ditetapkan hingga menjadi tagihan PBB bagi mereka,” kata Anung.
Anung mengatakan, selama ini para operator seluler pemilik BTS di Pacitan hanya dikenai pajak izin mendirikan bangunan (IMB), izin gangguan (HO) dan izin perluasan (IP). Sementara untuk PBB belum sama sekali. ”Ada landasan hukumnya yang mengatur ini. Sehingga, bisa digunakan pemkab untuk menarik PBB dari mereka,” ujarnya. (gen/her)