PACITAN, Jawa Pos Radar Madiun – Efek domino melejitnya harga telur dirasakan banyak pihak. Salah satu yang terdampak adalah pengusaha kuliner. Karena itu, mereka harus memutar otak agar tetap dapat bertahan. Di sisi lain kualitas produk juga tetap harus dijaga agar tak ditinggalkan pelanggan.
Pengusaha roti dan kue, misalnya. Mereka memilih tak menaikkan harga jual. Pun, tak mengecilkan ukuran produknya alias tetap seperti biasa. ‘’Kenaikan harga telur berimbas pada cost produksi meningkat, sehingga keuntungan menurun,’’ kata Citra Dewi Noviani, salah seorang pemilik usaha pastry and cake di Pacitan, kemarin (23/5).
Menurut dia, keputusan itu jelas berisiko. Biaya produksi yang bertambah tanpa diimbangi kenaikan harga berakibat pendapatan tereduksi. Kendati begitu, dia tetap optimistis harga telur akan kembali normal pada waktunya. Sehingga, keuntungannya pun pulih. ‘’Kami tak berani menaikkan harga, takut pelanggan malah pergi. Sebab, masyarakat tak setiap hari mengonsumsi roti,’’ sambungnya.
Sebagai pengusaha, Citra cukup kenyang dengan pengalaman menghadapi masa sulit. Selama ini dia berkomitmen mengedepankan pelayanan kepada pelanggan. Salah satunya menjaga cita rasa serta memastikan bahan baku sesuai standar. ‘’Tidak bisa mengurangi komposisi agar tidak berubah rasa,’’ ujarnya.
Hingga saat ini, harga telur di pasaran belum stabil. Rata-rata masih di atas Rp 30 ribu per kilogram. Karena itu, lanjut Citra, upaya terbaik yang mesti dilakukan pengusaha adalah bertahan. Apalagi, dia juga harus menghidupi puluhan pekerja.
Menurut Citra, kebutuhan telur untuk bahan baku roti cukup besar. Dari puluhan varian produknya, setiap hari rata-rata menghabiskan telur 100 kilogram. Dia biasa mendapat pasokan dari distributor secara berlangganan. ‘’Kalau harga dari distributor masih Rp 29 ribu per kilogram, karena sudah langganan,’’ pungkasnya. (hyo/sat)