PONOROGO – Janji pembebasan biaya perawatan selepas penetapan kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah dengue (DBD) ternyata disertai syarat dan ketentuan khusus. Rupanya, pemkab hanya menggratiskan pasien DBD jika sudah dalam tahap dengue haemorrhagic fever (DHF) atau bahkan dengue shock syndrome (DSS). ‘’Mengacu standar yang ditetapkan Dinkes Jatim dan WHO (World Health Organization, Red),’’ kata Kepala BPPKAD Bambang Tri Wahono kemarin (6/2).
Pagi-pagi sekitar pukul 08.00, Bambang menggelar rapat tertutup bersama dinkes serta sejumlah rumah sakit. Keluar ruang rapat sekitar pukul 09.00, mereka sepakat menggunakan satu standar yang sama perihal urusan pembiayaan para pasien DBD. Merujuk data yang terhimpun, terdaat 973 penderita DBD yang dirawat di lima rumah sakit. Namun, tidak semuanya sudah dalam taraf DHF maupun DSS. ‘’Sekali lagi, kategori DBD ini mengacu standar Dinkes Jatim dan WHO,’’ tegasnya.
Maka, banyak penderita DBD yang tidak akan menikmati bantuan pembiayaan sebagaimana dijanjikan pemkab senilai Rp 1,85 juta per orang. Lantas, bagaimana nasib mereka? Mengingat masyarakat sempat khawatir tidak dapat klaim pembiayaan dari BPJS Kesehatan lantaran pemkab menetapkan status KLB. ‘’Karena jika mengacu Dinkes Jatim dan WHO, penyakitnya dinyatakan bukan DBD. Jadi, otomatis BPJS masih berlaku untuk mereka,’’ terang Bambang.
Dikumpulkannya dinkes serta rumah sakit dalam rapat kemarin pagi bertujuan supaya mereka satu suara terkait status DBD seseorang. Untuk pembiayaan para penderita, telah disepakati hanya yang sudah menyandang status DHF dan DSS. Dengan demikian, Bambang berharap tidak ada lagi saling klaim data dan kebijakan yang berbeda antara dinkes serta pihak rumah sakit. ‘’Kebijakan pembiayaan berlaku untuk rumah sakit pemerintah dan swasta. Supaya semua sama, tidak mengklaim masing-masing,’’ jelasnya.
Sejauh ini, pemkab masih mencadangkan anggaran dana bencana atau on call senilai Rp 5 miliar. Bambang mengklaim telah menyiapkannya jika anggaran yang ada tak cukup meng-cover pembiayaan penderita DBD selama penetapan KLB. ‘’Untuk nominal per orang, indeksnya memang sebesar itu,’’ sebut Bambang.
Di lain pihak, Kepala Dinkes drg Rahayu Kusdarini enggan menjelaskan lebih jauh mengenai kesepakatan bantuan pembiayaan bagi para penderita DBD. Dia menjanjikan konferensi pers hari ini (7/2). Satu hal yang dia pastikan, dinkes juga mengacu standar Dinkes Jatim dan WHO. Artinya, hanya penyandang status DHF dan DSS yang disebut penderita positif DBD. Hanya pasien dengan kategori itu yang berhak dibiayai pemerintah. ‘’Tadi (kemarin, Red) di rapat sudah disepakati, pembiayaan penderita DBD mengacu standar yang sama,’’ ujarnya.
Kabid Pelayanan Medik RSUD dr Hardjono dr Siti Nurfaidah juga mengaku sepakat. Terutama yang berkaitan dengan pembiayaan pasien DBD yang ditanggung pemkab dengan ditetapkannya sebagai KLB. ‘’Kami sudah sepakat, dan karena ini bencana, ke depan data dapat diperoleh di dinkes,’’ kata Siti.
Dia menjelaskan, pasien yang masuk kategori DBD seperti yang disebutkan dalam SE Dinkes Jatim dibiayai pemkab setempat. Ada dua kategori pasien DBD, yaitu dengue haemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS). Dua kategori itu termasuk kategori III dan IV. ‘’Salah satu diagnosisnya trombosit kurang dari 100 ribu/milimeter kubik. Tentunya ada diagnosis lain juga yang masuk dalam kriteria tersebut,’’ terang Siti.
Sementara pembiayaan pasien yang masuk kategori suspect atau demam dengue (DD) tidak ditanggung pemerintah. Artinya, jika pasien bersangkutan merupakan anggota BPJS, maka pembiayaan tetap ditanggung BPJS. Sedangkan yang mandiri, pembiayaan tetap ditanggung pasien yang bersangkutan. ‘’Tentang kriteria itu sudah kami sepakati, semoga KLB DBD ini dapat segera teratasi,’’ ucapnya. (mg7/naz/c1/fin)