Lebaran rasanya kurang afdol tanpa hidangan ketupat. Momentum lebaran hari ketujuh itu menjadi berkah tersendiri bagi pedagang dadakan di sepenggal Jalan Soekarno Hatta.
—————
NUR WACHID, Ponorogo
PAGI sekali, Ahmad tak sabar memanasi mesin sepeda motornya. Setelah itu, buru-buru ia bergegas menuju Pasar Legi Songgolangit. Lantas menghampiri satu dari sederetan panjang penjual ketupat di Jalan Soekarno Hatta. Tak sedikit pula pengendara yang berhenti menawar satu-dua ikat ketupat yang dijajakan dadakan di trotoar tersebut. Mereka dari Ponorogo, Magetan, Pacitan hingga Trenggalek. ‘’Sudah sejak kecil jualan ketupat diajak ibu,’’ tutur Sulastri.
Perempuan asal Magetan itu pun terampil menganyam janur menjadi ketupat. Tiap sepuluh ketupat diikat menjadi satu. Dia pun tak pernah absen setiap memasuki lebaran ketujuh. ‘’Jualannya sehari semalam, pagi baru pulang,’’ kata pedagang 24 tahun itu.
Dari rumahnya, Sulastri membawa 2.500-3.000 helai janur. Semua dirangkai di lapak sembari melayani pembeli. Seharian, dia bisa menjual sedikitnya 500 ketupat. Harganya variatif. Per ikat ketupat dari janur hijau muda dijual Rp 15 ribu dan Rp 10 ribu untuk janur hijau tua. ‘’Kalau janurnya saja delapan ribu sepuluh helai,’’ kata ibu satu anak itu.
Dia mengaku tahun ini lebih sepi ketimbang tahun sebelumnya. Lantaran pemudik telah balik ke tanah rantauan. Kendati begitu, dia masih bisa mengantongi untung Rp 1 juta dalam sehari. Itu yang membuatnya tak pernah ingin melewatkan momentum lebaran ketupat. ‘’Lebaran tanpa ketupat rasanya ada yang kurang,’’ tuturnya. *** (fin)