Meski produk jajanan kekinian semakin menjamur, usaha keripik singkong yang ditekuni Pariatun sejak puluhan tahun silam masih eksis hingga sekarang. Dalam sehari, warga Desa Kwangsen, Jiwan, itu menghabiskan sedikitnya 1,5 kuintal singkong untuk diolah menjadi keripik.
———-
TUMPUKAN singkong dalam karung itu dikeluarkan Pariatun satu per satu. Kemudian, dikupas dengan pisau. Setelah itu, dicuci di bak berisi air hingga bersih. Kemudian, dipotong tipis-tipis dengan alat semacam pasah sebelum akhirnya digoreng sampai warnanya berubah kecokelatan. ‘’Tidak perlu dijemur. Irisannya tidak terlalu tebal agar renyah saat dikunyah,’’ kata Pariatun.
Sudah tiga dekade lebih Pariatun bersama suaminya menekuni usaha keripik singkong. Selama itu pula proses produksi dilakukan secara manual menggunakan alat-alat sederhana. Awalnya, Pariatun hanya menggunakan bahan baku 5 kilogram singkong sehari.
Seiring berjalannya waktu, keripik singkok buatan Pariatun semakin dikenal luas hingga produksi terus meningkat. Kini, dalam sehari dia menghabiskan sedikitnya 1,5 kuintal singkong untuk diolah menjadi keripik.
‘’Belakangan kami juga bikin keripik pisang, gadung, dan usus. Tapi, yang paling laris singkong,’’ ungkap warga Desa Kwangsen, Jiwan, itu.
Selama ini, pemasaran keripik singkong buatan Pariatun sekadar dititipkan ke toko-toko. Namun, belakangan dengan bantuan menantunya mulai merambah media sosial. Sementara, pelanggan didominasi warga sekitar Jiwan, Kota Madiun, dan Maospati.
Pariatun membanderol keripik singkongnya dengan harga mulai Rp 1.000, Rp 5.000, sampai Rp 10.000 per pak. Sedangkan pembelian kiloan dihargai Rp 27.000 per kilogram. ‘’Paling ramai saat musim hujan. Sekali produksi bisa habis hanya dalam waktu dua hari,’’ bebernya. ‘’Sering juga dibawa perangkat untuk pameran UMKM mewakili desa,’’ imbuh Pariatun. (mg3/isd)