KOTA, Jawa Pos Radar Madiun – Memasuki rumah Sofyan Effendy di Jalan Pilang Utama, Kelurahan Pilangbango, Kartoharjo, seolah ingatan dibawa kembali ke masa lalu. Bagaimana tidak, bangunan itu dipenuhi berbagai jenis lampu kereta uap. ‘’Sebagian saya simpan di gudang rumah di Klegen,’’ kata Sofyan, Rabu (16/3).
Kecintaan Sofyan pada lampu kereta api jadul tidak terlepas dari masa kecilnya yang kerap diajak sang ayah ke Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Dia masih ingat betul, pada 1980-an saat libur sekolah sering menemani ayahnya ketika menyopiri kereta. ‘’Tapi, rute dekat-dekat saja seperti Ponorogo, Solo, dan Jogja,’’ kenangnya. ‘’Biasanya berangkat Sabtu dan menginap di kota tujuan. Besoknya balik ke Madiun karena harus sekolah,’’ imbuhnya.
Suatu ketika saat kuliah di Malang dia menemukan lampu kereta api tergeletak di tempat rosok. Satu kondisinya masih terbilang bagus, satunya lagi sudah penyok. Akhirnya, Sofyan mengambil dan menyimpannya. ‘’Waktu ditanya teman, saya bilang karena punya pengalaman naik kereta uap dan anak masinis,’’ ungkap pria 45 tahun itu.
Sejak itu Sofyan mulai rajin berburu lampu kereta uap. Beruntung, sejumlah kolega ayahnya memberikan secara cuma-cuma. Tidak jarang pula dia mendapat pemberian dari kenalannya yang bekerja di pengepul barang rongsokan. ‘’Tapi, karena langka, cari satu saja susah sekali,’’ ujarnya.
Koleksi lampu kereta uap Sofyan mayoritas didapat dari sekitar kawasan Madiun. Sebagian lainnya diperoleh di Kertosono, Surabaya, dan Jogjakarta. Dia juga pernah mendapatkan koleksi lampu kereta barang dari Solok, Sumatera Barat. ‘’Kebetulan ayah dulu pernah menjadi masinis di Sawah Lunto,’’ tuturnya.
Koleksi Sofyan saat ini berjumlah sekitar 30. Jika diklasifikasikan meliputi 10 jenis berbeda. Pun, pada beberapa lampu tertulis tempat dan tahun pembuatan. ‘’Ada juga yang bertuliskan pabrik Birmingham (Inggris, Red) tahun pembuatan 1945 dan masih terlihat jelas,’’ sebutnya.
Setiap lampu kereta koleksi Sofyan memiliki karakter hampir sama. Yakni, terdiri dua sampai empat kaca yang warnanya berbeda. Misalnya, cembung warna merah, hijau, dan kuning. Ada pula yang hanya mempunyai dua kaca penerangan. Di dalamnya ada semacam alat pembakaran api layaknya lampu petromaks. ‘’Dulu pakai batang parafin untuk menyalakan api biar awet semalaman,’’ ungkapnya.
Uniknya lagi, setiap lampu memiliki gagang melengkung di atasnya. Belakangan diketahui gagang itu untuk memudahkan menyorot bagian bawah maupun depan saat kereta api berjalan. ‘’Tapi, jarak pandangnya terbatas, maksimal hanya 500 meter,’’ terangnya.
Saking cintanya, Sofyan tidak memiliki niat menjual koleksinya meski ditawar dengan harga tinggi. Pun, jika diminati pemkot untuk mempercantik pusat kuliner kereta api Jalan Bogowonto. ‘’Nilai sejarahnya itu yang tak ternilai,’’ ujarnya. (mg7/isd/c1/her)