Kerupuk gaplek ternyata masih eksis hingga sekarang. Adalah Marsiti, warga Desa Ngadirejo, Wonoasri, yang sudah puluhan tahun menekuni usaha penganan tradisional itu. Pun, produknya telah merambah berbagai daerah, bahkan luar negeri.
———-
TEPUNG gaplek itu oleh Marsiti dituangkan ke sebuah panci. Lalu, dimasukkannya ketumbar dan bawang putih yang sudah dihaluskan serta penyedap rasa dan air secukupnya. Kemudian, adonan tersebut dipanaskan di kompor sembari diaduk hingga merata, mengental, dan kalis.
Saat sudah kalis, Marsiti mengambil sejumput adonan. Lalu, dipipihkan menggunakan permukaan botol yang telah dibalut plastik dan dialasi talenan. ‘’Dibuat tipis agar setelah digoreng rasanya renyah,’’ kata warga Desa Ngadirejo, Kecamatan Wonoasri, itu.
Sudah puluhan tahun Marsiti menekuni usaha kerupuk gaplek. Berbekal resep asli warisan sang ibu, perempuan 47 itu meneruskan usaha keluarga hingga sekarang. ‘’Dulu banyak (perajin kerupuk gaplek) karena waktu itu yang bikin gaplek juga banyak. Kalau sekarang tinggal beberapa saja,’’ ujar Marsiti.
Marsiti biasa menghabiskan lima kilogram tepung gaplek setiap dua hari sekali. Sekali produksi bisa menghasilkan 20-25 bungkus kerupuk isi 50 biji per bungkus. Ibu dua anak itu berproduksi dari pagi hari hingga siang karena sorenya berjualan gorengan dan makanan jadi keliling. ‘’Saat Ramadan saya setiap hari bikin karena pesanan naik berlipat dari hari-hari biasa,’’ sebutnya.
Selama ini, pemasaran kerupuk gaplek buatan Marsiti hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut. Meski begitu, produknya telah merambah berbagai daerah. Bahkan, manca negara seperti Malaysia dan Hong Kong. ‘’Sebungkus Rp 5 ribu untuk yang masih mentah, kalau yang matang Rp 1.000 dapat sembilan biji,’’ ujarnya. (mg3/isd)