PONOROGO, Jawa Pos Radar Madiun – Sapta Arif Nur Wahyudin meluncurkan buku terbaru berjudul Bulan Ziarah Kenangan, Juni lalu. Antologi cerita pendek (cerpen) itu telah dimuat di berbagai media. Buku kedua yang dirilis setelah buku Di Hari Kelahiran Puisi (2019) itu mengajak pembaca menyelami realitas sosial.
————————————
JIKA Dewi Shinta lebih dulu bertemu Rahwana, akankah dia tetap mencintai Rama, ketika mereka dipertemukan? Mungkinkah jika ia malah mencintai Rahwana? Bukankah Shinta sosok yang ditakdirkan untuk sedih?
Kalimat itu menjadi kalimat favorit penulis dalam bukunya berjudul Bulan Ziarah Kenangan pada cerpen Renjana di halaman 104. ‘’Ini adalah cerpen yang menjadi tonggak pertama saya di dunia kepenulisan,’’ kata Sapta Arif Nur Wahyudin, sang penulis buku.
Cerpen pertamanya itu terbit di media 2017 silam. Hal itulah yang memotivasinya untuk terus berkarya. ‘’Saya terinspirasi Epos Ramayana, lalu diadaptasi menjadi alur yang modern,’’ jelasnya.
Ada 15 cerpen dalam buku terbarunya ini. Seluruhnya menggambarkan realitas sosial yang dialami maupun didengar penulis. Tema itu dikhususkan pada pembicaraan ketidakadilan gender. Hal itu tampak pada pemilihan perempuan sebagai tokoh utama. Sapta menceritakan perempuan kuat yang mampu menuntaskan berbagai persoalan pelik. ‘’Saya ingin menampilkan perempuan yang mempunyai tekad dan keinginan untuk menyelesaikan masalah,’’ ujar pria 28 tahun tersebut.
Karya sastra itu sarat makna, pembaca bebas menafsirkannya. Tidak heran jika sebagian pembaca memiliki sudut pandang bahwa cerpen dalam buku ini menggambarkan penindasan terhadap perempuan. Seperti dalam cerpen berjudul Sulastri di halaman 44. Tokoh Sulastri digambarkan sebagai sosok hero menghadapi getirnya hidup. Usai ditinggal suami setelah menikah lima tahun berselang. ‘’Suaminya meninggal. Di satu sisi, cerita ini juga menampilkan potret realita bagaimana pandangan masyarakat terhadap janda,’’ urainya.
Sapta memotret kenyataan hidup menjadi bahan tulisan yang apik. Cerita dari kolega, sahabat, maupun keluarga coba ditangkap menjadi ide kepenulisan. Apresiasi datang dari Maman S. Mahayana, pengarang buku Kitab Kritik Sastra. Kritikus sastra nasional itu menuliskan pengantar dalam buku milik Sapta. ‘’Ini jadi terasa spesial, karena Pak Maman bersedia menuliskan kata pengantar untuk buku saya,’’ jelasnya.
Jebolan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia itu butuh waktu 1,5 bulan menuntaskan buku keduanya. Cukup singkat, sebab cerpen-cerpen dalam buku telah ditulis jauh hari dan telah dimuat di berbagai media. ‘’Saya dan tim editing hanya melakukan pengeditan dan mengurutkan cerpen berdasarkan naik-turunya konflik,’’ pungkasnya. *** (mg2/kid/c1)