Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara untuk mendapatkan cuan. Dewi Sasotya, warga Kelurahan Klegen, sudah sekitar tiga tahun ini mampu meraih penghasilan dari berjualan pipes kopyor. Bagaimana proses pembuatan kuliner tradisional itu?
———-
DENGAN telaten Dewi Sasotya memotong lembar demi lembar daun pisang yang menumpuk di teras rumahnya. Setelah seluruhnya terpotong, perempuan itu mengelapnya dengan kain dan menatanya di antara lembaran plastik.
Selesai mengerjakan itu, dia ganti menuju dapur. Lalu, memanaskan santan di sebuah wadah. Selama di atas kompor, santan terus diaduk hingga menyisakan sedikit uap. Setelah itu, ditaruhnya dua potong roti tawar ke daun pisang. Lalu, diguyur dengan santan di atasnya, ditambah kelapa muda kopyor.
Tya –sapaan akrab Dewi Sasotya- berjualan pipes kopyor sejak 2020 lalu. Awalnya dia biasa membuat aneka makanan seperti selat, bistik gelatin, dan spagethi. ‘’Awal pandemi korona mulai bikin pipes kopyor, karena banyak yang menanyakan itu,’’ ujar warga Jalan Dwijaya I, Kelurahan Klegen, Kartoharjo, tersebut.
Butuh waktu dua bulan baginya untuk menemukan komposisi bahan dan rasa yang pas. Sebelumnya, sejumlah kendala muncul. Mulai tekstur roti yang pecah saat diguyur santan, daging kelapa yang keras, hingga durasi memasak yang lama. ‘’Yang paling rumit itu cari roti dan daging kelapa yang sesuai,’’ paparnya.
Tya memanfaatkan berbagai platform media sosial untuk memasarkan pipes kopyor hasil olahannya hingga lambat laun dikenal masyarakat. ‘’Mungkin kaum milenial banyak yang belum tahu makanan. Tapi, setelah mencicipinya respons mereka bagus,’’ ungkapnya.
Kini, pemasaran pipes kopyor buatan Tya telah merambah hingga luar daerah seperti Surabaya, Malang, Solo, dan Jogjakarta. Harganya dibanderol Rp 8 ribu. ‘’Sehari saya bisa terjual sampai 25 bungkus. Bahkan, pernah lebih dari 200 bungkus,’’ ujarnya. (mg4/isd)