Oleh: Suprawoto, Bupati Magetan
MENURUT Mochtar Lubis, salah satu ciri manusia Indonesia itu percaya takhayul. Tuyul digambarkan sebagai anak laki-laki kecil gundul. Cerita di masyarakat, tuyul dipelihara oleh orang yang ingin kaya dengan cara instan.
Syarat memeliharanya, calon orang tua atau majikan mendatangi dukun atau tempat keramat yang diyakini bisa mengadopsi tuyul. Kontrak terjalin setelah menyetujui persyaratan. Majikan harus menyayangi tuyul layaknya anaknya sendiri. Istri majikan harus bersedia menyusui. Kontrak berakhir dengan sendirinya bila majikan meninggal dunia.
Kewajiban tuyul adalah mencuri uang. Jangan heran bila sebagian masyarakat masih punya keyakinan: agar tidak hilang dicuri tuyul, simpan uang dengan kaca kecil. Alternatifnya, menaruh kacang hijau. Kedua benda itu diyakini dapat mencegah tuyul mencuri uang. Sebuah mitos yang masih beredar dan banyak orang percaya.
Jangan heran juga ketika ada orang kampung tiba-tiba kaya lantas dicurigai memelihara tuyul. Mengapa demikian? Orang di kampung pasti saling mengenal satu sama lain. Jumlah anak, status sekolah, biaya pendidikan sekolah atau kuliah setiap bulan, dan pekerjaan orang tua. Kalau di kampung, paling banyak ya petani. Warga mudah saja tahu luasan sawah, estimasi hasil panen, dan perkiraan penghasilan kotor dan bersihnya.
Sehingga dianggap mustahil bisa kaya karena punya tanggungan biaya sekolah atau kuliah anak di kota. Namun suatu ketika gaya hidupnya tiba-tiba berubah. Beli mobil dan rumahnya diperbaiki. Orang kampung dengan logikanya mengira orang tersebut memelihara tuyul. Yang sesungguhnya, bisa jadi orang tersebut selama ini hidup hemat. Menyimpan investasi dalam bentuk emas atau malah dapat warisan.
Pada 2014, Arfi’an Fuadi dan Arie Kurniawan, kakak-adik dari Salatiga, dicurigai memelihara tuyul. Keduanya yang hanya lulusan SMK itu tidak pernah keluar rumah. Sempat bekerja di bengkel motor, buruh pasir, dan pencuci motor. Tiba-tiba hidupnya berubah bisa membangun rumah dan membeli mobil.
Logika orang kampung, yang namanya bekerja pasti keluar rumah. Berangkat pagi pulang petang. Punya seragam tertentu. Namun, dua anak tersebut lain cerita. Masyarakat belum begitu paham bahwa dunia telah berubah. Arfi’an dan Arie bekerja di dunia maya sebagai design engineering. Klienya dari berbagai negara di dunia. Puluhan kontrak telah diterima. Hasilnya sangat mencengangkan bagi anak muda lulusan SMK. Apalagi yang tinggal di kampung.
Negara ini memiliki pejabat aparatur sipil negara (ASN) urusan pemerintahan. Tugas utama yang paling tampak adalah pelayanan publik. Mereka diminta memberikan pelayanan terbaik kepada setiap warga. ASN tersebut mendapatkan gaji pokok sesuai golongan dan beberapa tunjangan yang berbeda-beda.
Dalam hal tunjangan kinerja (tukin), besaran yang diterima masing-masing pegawai berbeda setiap bulannya. Penerimaan tukin memang lebih besar dibandingkan gaji pokok dan tunjangan jabatan. Anehnya, perbedaan besaran tukin ASN lingkup Kementerian Keuangan dibandingkan kementerian lainnya seperti bumi dan langit. Di kalangan ASN sering ada rasan-rasan, ASN di Indonesia seperti perlakuan hukum era Belanda. Ada kalangan pribumi, Timur asing, dan Eropa.
Perlakuan untuk ASN Kemenku seperti hukum untuk kalangan Eropa. Kebijakan pemberian tukin nampaknya turunan dari pemerintahan orde baru. Kemenkeu seperti mendapat previlege. Gaji ASN-nya pasti lebih besar dari kementerian lainnya. Salah satu alasannya, kementerian ini sumber keuangan APBN. Harapannya, dengan penghasilan lebih besar tidak akan terjadi penyimpangan. Model pengajian seperti itu terbawa terus hingga era reformasi.
Kita masih ingat kasus Gayus Tambunan. Pegawai pajak golongan III-A punya kekayaan fantastis. Tidak masuk akal dengan gaji dan tunjungan yang diterima setiap bulan. Kekayaan tersebut terbukti tidak lepas dari jabatan yang selama ini diemban.
Saat ini sedang hangat pemberitaan Mario Dandy Satriyo bergaya hidup mewah. Kasus remaja itu lantas menyeret nama ayahnya seorang pejabat Dirjen Pajak setingkat eselon III. Tapi juga punya kekayaan fantastis. Pada akhirnya harus berurusan dengan hukum karena gaya hidup mewahnya.
Perlu diingat, berapapun besarnya gaji dan tunjangan, ASN tidak bisa hidup mewah. Apalagi punya mobil dan rumah mewah, investasi berbagai bentuk, dan anak-anak kuliah di luar negeri dengan biaya sendiri. Kalau ingin hidup mewah jangan jadi ASN, tapi jadilah pengusaha yang baik.
Di sisi lain, kalau ada pejabat ASN (dalam arti luas) sampai hidup miskin, secara matematis juga tidak mungkin. Kalau sampai terjadi, pasti salah cara manajemennya. Namun kenyataan di Indonesia, ada pejabat yang hidupnya cukup, tidak mewah, mewah, dan bermewah-mewahan. Padahal level jabatan dan tingkat kementeriannya sama. Kalau itu terjadi, pakai logika orang kampung saja, pejabat bergaya hidup mewah itu pasti punya tuyul! (*/cor)