28.8 C
Madiun
Sunday, June 4, 2023

Catatan Kelam

SETIAP peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober, kita selalu ziarah ke Monumen Soco. Di monumen itu, terekam kekejaman PKI membunuh tokoh masyarakat, ulama, dan pejabat, baik sipil maupun militer. Peristiwa yang dikenal dengan Madiun Affair atau Peristiwa Madiun 1948 itu begitu membekas bagi bangsa, khususnya masyarakat Mataraman.

Rangkaian peristiwa tersebut ditulis dengan apik dan dimuat berseri oleh Jawa Pos (JP) mulai 18 September sampai Oktober 1989. Tulisan berseri itu hasil wawancara dari informan yang melihat, mengalami, serta terlibat langsung dengan Peristiwa 1948. Sebuah depth reporting yang sangat bagus. Bayangkan, kalau tidak ada tulisan berseri itu, kita akan kehilangan catatan otentik. Karena saya yakin banyak informan yang kini telah berpulang.

Waktu mengikuti tulisan berseri di JP, saya sudah bekerja di Surabaya. Saya sangat setia mengikuti tulisan tersebut setiap hari. Mengingat peristiwa itu sangat dekat dan memiliki ikatan emosional dengan saya. Sebagai warga yang lahir di Magetan, saya sangat berkepentingan dengan tulisan berseri itu. Bahkan, sebagian peristiwa ikut saya rasakan. Apalagi banyak hal yang dulunya belum saya ketahui, ditulis secara detail dan runtut.

Tulisan berseri dari tim JP itu kemudian dibukukan dengan judul Lubang-Lubang Pembantaian-Petualangan PKI di Madiun, diterbitkan Grafiti. Ceritanya dimulai dari awal mula PKI menyusun kekuatan di tubuh tentara, kemudian melancarkan aksi di Madiun. Juga dikupas tentang bagaimana pejabat hingga bupati Magetan, tokoh, ulama, dan masyarakat dibunuh dengan keji kemudian dimasukkan dalam sumur di Soco.

Proses penyerbuan pasukan Siliwangi juga diceritakan. Juga dipaparkan bermacam versi terbunuhnya Muso di Ponorogo, hingga membuat bala tentara PKI terdesak. Tak lupa, ikut dikisahkan peristiwa Gubernur Suryo bertemu dengan pasukan PKI di hutan Jati wilayah Ngawi sebelum akhirnya dibunuh dengan keji.

Peristiwa kelam tersebut terulang. Hanya perlu 17 tahun PKI mengulang tragedi yang tak kalah dahsyatnya di tahun 1965. Padahal, pada 1955, waktu pemilu pertama digelar, PKI memperoleh suara terbanyak keempat. Pertama Partai Nasional Indonesia (PNI) 23,97 persen; Masyumi 20,59 persen; Nahdlatul Ulama (NU) 18,47 persen; disusul Partai Komunis Indonesia (PKI) 16,47 persen.

Kemenangan itu membuat PKI percaya diri. Dukungan moral, politik, dan mungkin finansial dari internasional menambah kekuatan mereka. Dengan modal yang cukup, kepercayaan segera diperoleh kembali. Saya masih ingat ketika menjelang 1965. Ketika itu saya masih kelas tiga sekolah dasar. Ikut merasakan persaingan ideologi itu sampai desa.

Bagaimana tidak. Di desa saya (kebetulan pusat kawedanan/distrik), hampir setiap Minggu ada pawai bergantian. Dengan drumben dan barisan yang menarik. Seolah semua partai unjuk kekuatan. Saya sebagai anak kecil senang-senang saja dan merasa terhibur. Tidak mengerti bahwa di balik itu ada persaingan pengaruh dari masing-masing kekuatan politik.

Baca Juga :  Kreasi Karung Goni Fatmalia Yulinda Tembus Pasar Luar Pulau

Keluarga terbelah karena beda ideologi. Sampai-sampai tembok rumah kanan-kiri orang tuanya dicat lambang partai yang berbeda. Sampai saya sekolah di SMPN Maospati, saat keadaan sudah mulai normal, masih terlihat dengan jelas karena hanya ditutup cat gamping putih atau labur.

Jelang tragedi berdarah 30 September 1965, secara kebetulan ada fenomena alam munculnya bintang berekor. Dalam bahasa Jawa disebut lintang kemukus. Dalam kepercayaan Jawa (mitos), fenomena itu penanda bahwa akan terjadi peristiwa menyedihkan. Orang-orang tua yang melihat fenomena itu bergumam, ‘’arep ana ontran-ontran apa iki ya?”

Kok ya kebetulan, terjadi peristiwa berdarah tragedi G30S/PKI. Yang menyebabkan beberapa jenderal dan perwira menjadi korban. Kita semua tahu. Setelahnya, PKI yang dianggap sebagai dalang dinyatakan sebagai partai terlarang. Para pimpinan, pengurus, bahkan simpatisan diadili dan ditahan. Malah banyak yang dihukum tanpa diadili. Suasana waktu itu sungguh mencekam.

Di desa saya, kalau malam, terasa sungguh menakutkan. Setiap ada mobil lewat di malam hari, semua merasa ketakutan. Dalam hati masing-masing orang, timbul pertanyaan siapa lagi yang diambil. Bahasa orang awam yang sering saya dengar waktu itu, ‘’sapa maneh sing dicidhuk?

Berbagai lembaga dan ahli tak pernah bersepakat soal jumlah korban yang tak diadili. Dalam buku Hermawan Sulistyo berjudul Palu Arit di Ladang Tebu, yang merupakan disertasi doktor di Arizona State University, Amerika Serikat, tahun 1993, memperkirakan jumlah korban terendah sekitar 78 ribu. Perkiraan tertinggi sekitar dua juta. Di antara para ahli, disepakati jumlah korban berkisar 500 ribu sampai 600 ribu.

Dua peristiwa yang melibatkan PKI, baik 1948 maupun 1965, menjadi catatan kelam sejarah Indonesia. Tidak heran bila saat ini PKI selalu menjadi isu seksi untuk menarik simpati. Namun, hendaknya kedua peristiwa itu jangan sampai membelenggu kita menatap masa depan. Seperti kalau kita mengemudikan mobil, hendaknya sesekali saja melihat ke belakang melalui kaca spion kecil, agar berhati-hati. Yang penting menatap kaca depan yang sedemikian lebar untuk menuju tujuan.

Hari Kesaktian Pancasila yang kita peringati setiap tahun cukup menjadi pelajaran. Tentu Pancasila akan sakti jika kita semua mengamalkan nilai-nilainya dalam berkehidupan. Baik dalam bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Terlebih aparatur negara. Kesejahteraan masyarakat harus menjadi tujuan utama dalam mengabdi. Kalau yang kita lakukan sebaliknya, kita justru menumbuhsuburkan ideologi lain. Bukankah ketahanan nasional itu substansinya kesejahteraan. Dengan demikian, ideologi apa pun tidak akan laku karenanya. (*/naz/c1)

SETIAP peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober, kita selalu ziarah ke Monumen Soco. Di monumen itu, terekam kekejaman PKI membunuh tokoh masyarakat, ulama, dan pejabat, baik sipil maupun militer. Peristiwa yang dikenal dengan Madiun Affair atau Peristiwa Madiun 1948 itu begitu membekas bagi bangsa, khususnya masyarakat Mataraman.

Rangkaian peristiwa tersebut ditulis dengan apik dan dimuat berseri oleh Jawa Pos (JP) mulai 18 September sampai Oktober 1989. Tulisan berseri itu hasil wawancara dari informan yang melihat, mengalami, serta terlibat langsung dengan Peristiwa 1948. Sebuah depth reporting yang sangat bagus. Bayangkan, kalau tidak ada tulisan berseri itu, kita akan kehilangan catatan otentik. Karena saya yakin banyak informan yang kini telah berpulang.

Waktu mengikuti tulisan berseri di JP, saya sudah bekerja di Surabaya. Saya sangat setia mengikuti tulisan tersebut setiap hari. Mengingat peristiwa itu sangat dekat dan memiliki ikatan emosional dengan saya. Sebagai warga yang lahir di Magetan, saya sangat berkepentingan dengan tulisan berseri itu. Bahkan, sebagian peristiwa ikut saya rasakan. Apalagi banyak hal yang dulunya belum saya ketahui, ditulis secara detail dan runtut.

Tulisan berseri dari tim JP itu kemudian dibukukan dengan judul Lubang-Lubang Pembantaian-Petualangan PKI di Madiun, diterbitkan Grafiti. Ceritanya dimulai dari awal mula PKI menyusun kekuatan di tubuh tentara, kemudian melancarkan aksi di Madiun. Juga dikupas tentang bagaimana pejabat hingga bupati Magetan, tokoh, ulama, dan masyarakat dibunuh dengan keji kemudian dimasukkan dalam sumur di Soco.

Proses penyerbuan pasukan Siliwangi juga diceritakan. Juga dipaparkan bermacam versi terbunuhnya Muso di Ponorogo, hingga membuat bala tentara PKI terdesak. Tak lupa, ikut dikisahkan peristiwa Gubernur Suryo bertemu dengan pasukan PKI di hutan Jati wilayah Ngawi sebelum akhirnya dibunuh dengan keji.

Peristiwa kelam tersebut terulang. Hanya perlu 17 tahun PKI mengulang tragedi yang tak kalah dahsyatnya di tahun 1965. Padahal, pada 1955, waktu pemilu pertama digelar, PKI memperoleh suara terbanyak keempat. Pertama Partai Nasional Indonesia (PNI) 23,97 persen; Masyumi 20,59 persen; Nahdlatul Ulama (NU) 18,47 persen; disusul Partai Komunis Indonesia (PKI) 16,47 persen.

Kemenangan itu membuat PKI percaya diri. Dukungan moral, politik, dan mungkin finansial dari internasional menambah kekuatan mereka. Dengan modal yang cukup, kepercayaan segera diperoleh kembali. Saya masih ingat ketika menjelang 1965. Ketika itu saya masih kelas tiga sekolah dasar. Ikut merasakan persaingan ideologi itu sampai desa.

Bagaimana tidak. Di desa saya (kebetulan pusat kawedanan/distrik), hampir setiap Minggu ada pawai bergantian. Dengan drumben dan barisan yang menarik. Seolah semua partai unjuk kekuatan. Saya sebagai anak kecil senang-senang saja dan merasa terhibur. Tidak mengerti bahwa di balik itu ada persaingan pengaruh dari masing-masing kekuatan politik.

Baca Juga :  Asa di Perbatasan

Keluarga terbelah karena beda ideologi. Sampai-sampai tembok rumah kanan-kiri orang tuanya dicat lambang partai yang berbeda. Sampai saya sekolah di SMPN Maospati, saat keadaan sudah mulai normal, masih terlihat dengan jelas karena hanya ditutup cat gamping putih atau labur.

Jelang tragedi berdarah 30 September 1965, secara kebetulan ada fenomena alam munculnya bintang berekor. Dalam bahasa Jawa disebut lintang kemukus. Dalam kepercayaan Jawa (mitos), fenomena itu penanda bahwa akan terjadi peristiwa menyedihkan. Orang-orang tua yang melihat fenomena itu bergumam, ‘’arep ana ontran-ontran apa iki ya?”

Kok ya kebetulan, terjadi peristiwa berdarah tragedi G30S/PKI. Yang menyebabkan beberapa jenderal dan perwira menjadi korban. Kita semua tahu. Setelahnya, PKI yang dianggap sebagai dalang dinyatakan sebagai partai terlarang. Para pimpinan, pengurus, bahkan simpatisan diadili dan ditahan. Malah banyak yang dihukum tanpa diadili. Suasana waktu itu sungguh mencekam.

Di desa saya, kalau malam, terasa sungguh menakutkan. Setiap ada mobil lewat di malam hari, semua merasa ketakutan. Dalam hati masing-masing orang, timbul pertanyaan siapa lagi yang diambil. Bahasa orang awam yang sering saya dengar waktu itu, ‘’sapa maneh sing dicidhuk?

Berbagai lembaga dan ahli tak pernah bersepakat soal jumlah korban yang tak diadili. Dalam buku Hermawan Sulistyo berjudul Palu Arit di Ladang Tebu, yang merupakan disertasi doktor di Arizona State University, Amerika Serikat, tahun 1993, memperkirakan jumlah korban terendah sekitar 78 ribu. Perkiraan tertinggi sekitar dua juta. Di antara para ahli, disepakati jumlah korban berkisar 500 ribu sampai 600 ribu.

Dua peristiwa yang melibatkan PKI, baik 1948 maupun 1965, menjadi catatan kelam sejarah Indonesia. Tidak heran bila saat ini PKI selalu menjadi isu seksi untuk menarik simpati. Namun, hendaknya kedua peristiwa itu jangan sampai membelenggu kita menatap masa depan. Seperti kalau kita mengemudikan mobil, hendaknya sesekali saja melihat ke belakang melalui kaca spion kecil, agar berhati-hati. Yang penting menatap kaca depan yang sedemikian lebar untuk menuju tujuan.

Hari Kesaktian Pancasila yang kita peringati setiap tahun cukup menjadi pelajaran. Tentu Pancasila akan sakti jika kita semua mengamalkan nilai-nilainya dalam berkehidupan. Baik dalam bermasyarakat, berbangsa, maupun bernegara. Terlebih aparatur negara. Kesejahteraan masyarakat harus menjadi tujuan utama dalam mengabdi. Kalau yang kita lakukan sebaliknya, kita justru menumbuhsuburkan ideologi lain. Bukankah ketahanan nasional itu substansinya kesejahteraan. Dengan demikian, ideologi apa pun tidak akan laku karenanya. (*/naz/c1)

Terpopuler

Artikel Terbaru