SAYA lahir sebagai orang Jawa adalah takdir. Tidak pernah meminta. Kebetulan juga dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa yang kental. Waktu kecil senang menonton pergelaran wayang kulit di desa saya. Bahkan kadang harus nonton ke luar desa bila dalangnya tersohor. Juga menonton ketoprak, ludruk, wayang orang, seni kentrung, dan pertunjukan seni lainnya –yang waktu itu sungguh sangat dekat– karena sering dipentaskan.
Di rumah juga dididik menggunakan pengantar bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Oleh kakek, saya sering mendapat petuah atau pitutur luhur. Bagaimana menjadi orang Jawa yang baik. Diharapkan kelak bisa hidup dalam kehidupan yang baik sesuai konsep hidup, moral, dan budi pekerti sebagai orang Jawa.
Selain saya jadikan landasan hidup, apalagi bentuk pertanggungjawaban saya terhadap nilai dan budaya Jawa? Itulah yang menggoda perjalanan saya. Akhirnya saya menulis rutin dalam majalah mingguan berbahasa Jawa, selama 13 tahun lebih. Yang rutin artikel umum. Kalau ada waktu juga menulis cerita cekak (cerkak). Bukan kelas sastra. Tapi, cerkak sekelas panglipur wuyung.
Saya juga menulis autobiografi dalam bahasa Jawa. Yang saya tulis sendiri selama enam tahun di sela kesibukan. Sudah cetak dua kali. Sengaja, ketika naskah saya tulis atau edit, saya cantumkan tempat dan waktu penulisannya. Selain sebagai pengingat, juga sebagai bukti bila suatu saat diragukan orang.
Selesai kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM, saya bekerja di departemen penerangan. Sambil memberi kuliah bidang komunikasi di perguruan tinggi, baik di Surabaya maupun Malang. Ketika karier membuat saya pindah ke Jakarta, saya tetap mengajar di dua universitas.
Setahun jelang pensiun, di puncak karier sebagai sekretaris jenderal di Kemkominfo, saya mulai berpikir. Apa bentuk pertanggungjawaban saya yang telah bekerja sekian lama di bidang komunikasi dan mengajar di bidang komunikasi juga. Berbagai pilihan judul buku muncul. Namun, akhirnya mantap menulis buku Government Public Relations.
Pertimbangannya, buku terkait kehumasan pemerintah yang bagus dan menggunakan sumber primer berbobot jarang ditemukan. Kebetulan, selain sebagai pelaku, dari mengajar saya juga memiliki dokumen yang relatif lengkap. Walaupun masih harus dilengkapi berbagai sumber dari berbagai perpustakaan.
Saya masih ingat momen mendekam di berbagai perpustakaan pada Sabtu dan Minggu. Ketika orang lain mungkin sedang rekreasi bersama keluarganya. Tentu yang jadi korban adalah keluarga. Terutama istri dan anak-anak. Akibat ambisi orang tua dalam menulis. Akhirnya buku itu terbit secara komersial ketika saya mengakhiri karier di birokrasi sekitar 34 tahun.
Saat ini saya masih punya utang dua buku. Pertama, buku di bidang pemerintahan. Apalagi saya sarjana ilmu pemerintahan. Saya ingin menulis tentang perkembangan sistem pemerintahan daerah di Indonesia. Sejak zaman sebelum penjajahan, selama penjajahan, sampai sekarang.
Buku dan dokumen terkait saya beli dan kumpulkan sejak 1984 untuk bahan referensi. Tapi, karena sering pindah rumah, akhirnya banyak yang tercecer. Bahkan ada yang sudah di tangan penjual buku bekas. Saya sendiri tidak tahu bagaimana bisa jatuh ke orang lain. Mungkin karena sebagian buku saya simpan di rumah yang tidak lagi dihuni. Sementara kunci dipegang penjaga. Mungkin peluang itu yang menyebabkan buku saya berpindah tangan ke orang lain.
Beberapa waktu lalu, saya beli buku secara online. Judulnya Desentralisasi dan Hak Otonomi, terbitan 1951. Ternyata buku yang saya beli itu dulunya buku saya sendiri. Buku itu saya beli pada 12 September 1994. Harganya cukup mahal. Apalagi sekarang. Karena langka. Setiap buku saya beri cap Perpustakaan Pribadi Suprawoto. Juga tertera tanggal dan harga pembelian. Jadi ya lucu.
Kedua, sebagai bupati. Bagi saya, zalim rasanya pengalaman sebagai pejabat politik tidak saya tulis. Siapa tahu berguna. Minimal bila demokrasi di Indonesia suatu saat menemukan bentuk idealnya, pernah melalui rute demokrasi seperti ini. Bila tidak berguna bagi masyarakat, akan berguna bagi keluarga saya sebagai catatan pribadi.
Tentu dua buku yang menjadi utang saya itu memerlukan referensi atau sumber primer yang memadai. Saya sangat terkesan dengan buku-buku tentang Indonesia yang ditulis sarjana Barat. Lihat saja tulisan M.C. Ricklefs, Peter Carey, Thomas Stamford Raffles, Denys Lombard, Benedict Anderson, George McTurnan Kahin, dan lainnya. Demikian tinggi tolok ukurnya. Menggunakan referensi dan sumber primer sangat baik. Standar emas yang dipakai.
Mungkin buku saya nanti tidak bisa menyamai, bahkan mendekati standar para ahli tersebut. Namun, setidaknya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sekaligus mengisi ruang kosong. Jangan sampai hanya buku asal tulis untuk menggugurkan kewajiban utang.
Seperti yang dikatakan oleh Peter Carey, ‘’….standar emas studi tentang Jawa. Semestinya menjadi inspirasi. Tetapi jarang yang bisa memenuhi standar ini, terutama Indonesia, tempat uang kotor, dalam bentuk penulisan sejarah yang dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan proyek (bisa dibaca untuk kenaikan pangkat dan lainnya) cenderung lebih diutamakan daripada penelitian arsip yang telaten.”(*/naz/c1)