28.8 C
Madiun
Sunday, June 4, 2023

Hari Pers Nasional dan Kemerdekaan Pers Indonesia

Oleh: Bupati Magetan Suprawoto

BANGSA ini memperingati Hari Pers Nasional (HPN) setiap 9 Februari. Walau beberapa organisasi pers menggugat penetapan hari itu, namun keputusannya tidak berubah. Mayoritas pers Indonesia masih dapat menerimanya.

Gugatan hadir setelah era reformasi. Ketika kemerdekaan pers diperoleh kembali. Salah satu pertimbangannya, penetapan HPN mengacu hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo pada 9 Februari 1946. Hal tersebut dipandang tidak relevan. Sebab saat ini banyak organisasi wartawan lainnya.

Pada hari PWI lahir, para tokoh pers nasional berkumpul di Balai Pertemuan Sono Suko (sekarang Gedung Monumen Pers). Dalam pertemuan itu diambil keputusan membentuk organisasi PWI yang kemudian diketuai Sumanang Surjowinoto.

Gagasan HPN muncul dalam kongres ke-16 PWI di Padang pada 1978. Pemerintah diminta menetapkan hari lahirnya PWI sebagai HPN. Namun, usulan itu tidak serta merta disetujui pemerintah Orde Baru. Kendati demikian, HPN tetap diperingati.

Peringatan pertama kalinya di momen ulang tahun ke-35 PWI pada 1981. Setelah acara itu, Dewan pers menganggap usulan PWI perlu ditindaklanjuti. Sidang pembahasannya digelar di Bandung, 19 Februari 1981. Kesepakatannya 9 Februari sebagai HPN. Dewan pers lantas mengusulkan penetapannya ke pemerintah.

Sejak PWI memunculkan gagasan HPN, pemerintah baru menyetujui tujuh tahun kemudian melalui Kepres 5/1985. Di dalamnya dikemukakan alasan penetapan HPN setiap 9 Februari.

Begitu hebatnya peran dewan pers di era Orde Baru. Lembaga independen itu lahir dari amanat Undang-Undang 11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Fungsinya mendampingi pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan, dan perkembangan pers nasional.

Kemudian, regulasi itu diubah menjadi UU 21/1982. Dewan pers dalam UU itu mempunyai hubungan struktural dengan Departemen Penerangan.

Bayangkan, ketua dewan pers adalah menteri penerangan. Sekretarisnya dirjen pembinaan pers dan grafika (PPG). Sedangkan kalangan pers menduduki posisi kurang penting.Pemerintah begitu dominan dalam pembinaan pers.

Tidak mengherankan kalau seluruh kebijakan pers harus sesuai kebijakan pemerintah. Bahkan, UU dikesampingkan dengan aturan lebih rendah. Dan, itu pernah terjadi.

Pasal 4 UU 11/1966 dinyatakan dengan tegas dan jelas bahwa pers bebas dari kontrol dan pembredelan. Pasal itu tidak diubah dalam regulasi perubahannya. Anehnya, pasal itu bisa disimpangi Peraturan Menteri Penerangan 1/Per/Menpen/1984 yang notabene lebih rendah ketimbang UU.

Baca Juga :  Investasi di Magetan Terhadang Hutan Lindung

Dalam peraturan itu, seluruh penerbitan pers harus memiliki surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Menteri penerangan berhak mengeluarkan sekaligus membatalkan SIUPP. Kebijakan pembatalan itu menjadi momok sekaligus ancaman terhadap kemerdekaan pers.

Pertanyaannya kemudian, apakah pembatalan SIUPP tidak sama dengan pembredelan? Pada masa itu, SIUPP harian Prioritas dengan Surya Paloh sebagai pemimpin umum dicabut. Sebab kritis terhadap kebijakan pemerintah dengan melakukan uji materi Peraturan Menteri Penerangan 1/Per/Menpen/1984 ke Mahkamah Agung.

Pada akhirnya, harian Prioritas kalah. Harian itupun dikubur pemerintah. Pada masa itu, begitu banyak korban pembatalan SIUPP. Pemerintah yang berkuasa selalu kurang nyaman ketika menerima kritik pers.

Korban pertama delik pers adalah Bromartani. Media bahasa Jawa itu terkena delik pers di era kolonial, persisnya 1896. Pembatasan pers pun terus berlanjut. Bahkan di era Presiden Soekarno.

Persoalan pembredelan era itu dibahas di buku disertasi Edward C. Smith tentang Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia. Bukan hanya pembredelan, namun juga pemenjaraan bagi pers yang dipandang tidak sejalan dengan politik pemerintah.

Pembredelan tidak akan terjadi di era reformasi. Namun, ancaman dalam bentuk lain bisa saja terjadi. Ancaman, bahkan kekerasan terhadap pekerja pers, masih sering kita lihat dan dengar. Rute pengajuan keberatan atas pemberitaan sebeneranya sudah diatur dengan jelas. Hak jawab, misalnya. Namun banyak yang tidak mau mengambil rute umum negara demokrasi itu.

Bila hal itu masih kerap terjadi, tema HPN tahun ini Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat perlu dipertanyakan. Apakah itu cita-cita atau sindiran terhadap fenomena yang sedang terjadi? Apalagi menjelang tahun politik 2024, tensi dan potensi gesekan semakin tampak. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Dan pers harus terpanggil untuk terus menjaga demokrasi yang merupakan rute pilihan bangsa ini. (*/cor)

Oleh: Bupati Magetan Suprawoto

BANGSA ini memperingati Hari Pers Nasional (HPN) setiap 9 Februari. Walau beberapa organisasi pers menggugat penetapan hari itu, namun keputusannya tidak berubah. Mayoritas pers Indonesia masih dapat menerimanya.

Gugatan hadir setelah era reformasi. Ketika kemerdekaan pers diperoleh kembali. Salah satu pertimbangannya, penetapan HPN mengacu hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo pada 9 Februari 1946. Hal tersebut dipandang tidak relevan. Sebab saat ini banyak organisasi wartawan lainnya.

Pada hari PWI lahir, para tokoh pers nasional berkumpul di Balai Pertemuan Sono Suko (sekarang Gedung Monumen Pers). Dalam pertemuan itu diambil keputusan membentuk organisasi PWI yang kemudian diketuai Sumanang Surjowinoto.

Gagasan HPN muncul dalam kongres ke-16 PWI di Padang pada 1978. Pemerintah diminta menetapkan hari lahirnya PWI sebagai HPN. Namun, usulan itu tidak serta merta disetujui pemerintah Orde Baru. Kendati demikian, HPN tetap diperingati.

Peringatan pertama kalinya di momen ulang tahun ke-35 PWI pada 1981. Setelah acara itu, Dewan pers menganggap usulan PWI perlu ditindaklanjuti. Sidang pembahasannya digelar di Bandung, 19 Februari 1981. Kesepakatannya 9 Februari sebagai HPN. Dewan pers lantas mengusulkan penetapannya ke pemerintah.

Sejak PWI memunculkan gagasan HPN, pemerintah baru menyetujui tujuh tahun kemudian melalui Kepres 5/1985. Di dalamnya dikemukakan alasan penetapan HPN setiap 9 Februari.

Begitu hebatnya peran dewan pers di era Orde Baru. Lembaga independen itu lahir dari amanat Undang-Undang 11/1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers. Fungsinya mendampingi pemerintah, bersama-sama membina pertumbuhan, dan perkembangan pers nasional.

Kemudian, regulasi itu diubah menjadi UU 21/1982. Dewan pers dalam UU itu mempunyai hubungan struktural dengan Departemen Penerangan.

Bayangkan, ketua dewan pers adalah menteri penerangan. Sekretarisnya dirjen pembinaan pers dan grafika (PPG). Sedangkan kalangan pers menduduki posisi kurang penting.Pemerintah begitu dominan dalam pembinaan pers.

Tidak mengherankan kalau seluruh kebijakan pers harus sesuai kebijakan pemerintah. Bahkan, UU dikesampingkan dengan aturan lebih rendah. Dan, itu pernah terjadi.

Pasal 4 UU 11/1966 dinyatakan dengan tegas dan jelas bahwa pers bebas dari kontrol dan pembredelan. Pasal itu tidak diubah dalam regulasi perubahannya. Anehnya, pasal itu bisa disimpangi Peraturan Menteri Penerangan 1/Per/Menpen/1984 yang notabene lebih rendah ketimbang UU.

Baca Juga :  Hatta

Dalam peraturan itu, seluruh penerbitan pers harus memiliki surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). Menteri penerangan berhak mengeluarkan sekaligus membatalkan SIUPP. Kebijakan pembatalan itu menjadi momok sekaligus ancaman terhadap kemerdekaan pers.

Pertanyaannya kemudian, apakah pembatalan SIUPP tidak sama dengan pembredelan? Pada masa itu, SIUPP harian Prioritas dengan Surya Paloh sebagai pemimpin umum dicabut. Sebab kritis terhadap kebijakan pemerintah dengan melakukan uji materi Peraturan Menteri Penerangan 1/Per/Menpen/1984 ke Mahkamah Agung.

Pada akhirnya, harian Prioritas kalah. Harian itupun dikubur pemerintah. Pada masa itu, begitu banyak korban pembatalan SIUPP. Pemerintah yang berkuasa selalu kurang nyaman ketika menerima kritik pers.

Korban pertama delik pers adalah Bromartani. Media bahasa Jawa itu terkena delik pers di era kolonial, persisnya 1896. Pembatasan pers pun terus berlanjut. Bahkan di era Presiden Soekarno.

Persoalan pembredelan era itu dibahas di buku disertasi Edward C. Smith tentang Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia. Bukan hanya pembredelan, namun juga pemenjaraan bagi pers yang dipandang tidak sejalan dengan politik pemerintah.

Pembredelan tidak akan terjadi di era reformasi. Namun, ancaman dalam bentuk lain bisa saja terjadi. Ancaman, bahkan kekerasan terhadap pekerja pers, masih sering kita lihat dan dengar. Rute pengajuan keberatan atas pemberitaan sebeneranya sudah diatur dengan jelas. Hak jawab, misalnya. Namun banyak yang tidak mau mengambil rute umum negara demokrasi itu.

Bila hal itu masih kerap terjadi, tema HPN tahun ini Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat perlu dipertanyakan. Apakah itu cita-cita atau sindiran terhadap fenomena yang sedang terjadi? Apalagi menjelang tahun politik 2024, tensi dan potensi gesekan semakin tampak. Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Dan pers harus terpanggil untuk terus menjaga demokrasi yang merupakan rute pilihan bangsa ini. (*/cor)

Terpopuler

Artikel Terbaru