28.8 C
Madiun
Sunday, June 4, 2023

RMTA Soeryo, dari Magetan ke Provinsi Jatim (1)

TANGGAL 12 Oktober 2021 Magetan berusia 346 tahun. Kebetulan HUT Magetan bersamaan dengan hari jadi yang ke-76 Provinsi Jawa Timur (Jatim). Beda usia karena HUT Jatim dihitung mulai bekerjanya gubernur pertama setelah kemerdekaan. Bukan waktu pembentukan. Jatim dibentuk ketika RMTA Soeryo ditetapkan sebagai gubernur pada 19 Agustus 1945, bersamaan pengangkatan tujuh gubernur, menteri, serta 16 residen.

Kala itu RMTA Soeryo merangkap sebagai residen Bojonegoro. Baru pada 12 Oktober 1945 RMTA Soeryo mulai bekerja di Surabaya sebagai gubernur. Karena itu, 12 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jatim. Penetapan itu diambil berdasarkan nilai filosofis dan heroik nasionalisme yang tinggi.

Sedangkan hari jadi Kabupaten Magetan ditetapkan berdasarkan pengangkatan Basah Gondokusumo menjadi penguasa wilayah ini dengan gelar Yosonegoro, yang kemudian dikenal sebagai Bupati Yosonegoro. Peristiwa itu diyakini terjadi pada 12 Oktober 1675. Ditandai dengan candrasengkala ‘’Manunggaling Rasasuka Hambangun”.

Bisa dipahami mengapa kabupaten yang dibentuk di masa pemerintahan Hindia Belanda lebih tua usianya dari provinsi. Pada zaman itu, gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi di Hindia Belanda. Lalu di bawahnya ada residen dan di setiap kabupaten ada asisten residen. Pada akhir 1920-an, provinsi mulai dibentuk.

Ada ikatan emosional kuat antara hari jadi Kabupaten Magetan dan Provinsi Jatim. Secara kebetulan, tanggal dan bulannya sama. Ditambah gubernur pertama Jatim dulu adalah bupati Magetan yang menjabat pada 1938-1943. Beliau lahir pada 9 Juli 1898 di Magetan dan mengenyam pendidikan sekolah pamong praja atau lebih dikenal dengan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).

Pada pemerintahan Jepang, RMTA Soeryo diangkat sebagai residen Bojonegoro. Pengangkatan itu tentu sudah didasari pertimbangan matang. Dia dianggap punya kapasitas memadai. Mengingat, sejak zaman Mataram, bupati Magetan belum punya pengaruh besar di luar. Sehingga kapasitas pribadi menjadi salah satu pertimbangan.

Itu bisa dilihat dari minimnya sumber informasi tentang Magetan. Masih kalah dengan Madiun. Begitu banyak sumber informasi dan catatan. Mengingat bupati Madiun dikenal sebagai bupati Monconegoro yang merupakan bupati utama, yang mengoordinasi bupati-bupati di wilayah timur. Selain kekuasaannya lebih besar, dia juga dipercaya Sultan Hamengkubuwono.

Ketika Indonesia berdaulat, RMTA Soeryo diangkat sebagai gubernur Jatim. Dalam situasi masa transisi dan usaha kembalinya penjajah Belanda dengan membonceng Inggris, tugasnya pun menjadi berat. Jiwa kepahlawan dan nasionalisme betul-betul diuji. Sejarah mencatat, di tengah tekanan Inggris yang begitu hebat, Gubernur Soeryo menolak ultimatum menyerah sesuai kemauan Inggris.

Baca Juga :  Bapenda Mengais Pajak di Tanah Rusak

Ketika pemerintahan Republik Indonesia berpindah ke Jogjakarta, dilakukan mutasi di kalangan pemerintah. Termasuk gubernur Jatim. Semula, RP Soeroso diangkat menggantikan RMTA Soeryo yang dilantik sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung di Jogjakarta. Pengangkatan RP Soeroso mendapat penolakan. Kemudian, pada Juni diangkat Dr Moerdjani sebagai gubernur baru.

Sebagai pejabat tinggi negara, RMTA Soeryo ikut berkantor di Jogjakarta. Menurut catatan, saat itu adiknya meninggal di Madiun. Lantaran pecah Madiun Affair, dia dicegah Bung Hatta untuk berangkat ke Madiun. Setelah peringatan 10 November 1948, RMTA Soeryo memaksa pulang. Di tengah jalan, di hutan wilayah Ngawi, dia bertemu rombongan Amir Sjariffudin yang akan menyingkir ke Purwodadi karena terdesak pasukan Siliwangi. Di situlah akhirnya beliau dibunuh dengan keji.

Almarhum saat ini dimakamkan dengan tenang di Magetan. Setiap tahun Pemerintah Kabupaten Magetan dan Provinsi Jatim selalu berziarah ke makam Gubernur Soeryo. Saya selalu merenung betapa besar pengorbanan para pendiri bangsa. Jiwa dan raganya diserahkan untuk kemerdekaan bangsa. Harapannya, kelak bangsanya hidup adil dan sejahtera.

Apakah harapan itu sudah terwujud? Tentu jawaban kita akan berbeda. Tergantung sudut pandangnya. Namun, jika melihat kiprah Jatim sampai saat ini, kita boleh cukup berbangga. Jakarta menjadi ibu kota Indonesia, kita tentu tahu. Bila Surabaya yang notabene ibu kota Jatim juga dipandang sebagai ibu kota Indonesia Timur, mungkin timbul tanda tanya.

Ibu kota bukan dalam arti tata negara. Namun, ibu kota dalam arti ekonomi dan kemajuan pembangunan. Karena ekonomi Indonesia Timur tergantung Surabaya atau Jatim. Bahkan, Timor Timur pun bergantung dengan Surabaya.

Magetan bagian dari Jatim. Kemajuan Jatim merupakan agregat dari kemajuan seluruh kabupaten/kota. Persoalannya, seberapa besar sumbangsih Magetan. Jangan-jangan hanya sebagai aksesori. Betapa ruginya. Dalam memperingati HUT ke-346, kita perlu mengambil spirit Gubernur Soeryo, putra asli Magetan, untuk mengejar ketertinggalan porsi peran di Jatim. (*/naz/c1)

TANGGAL 12 Oktober 2021 Magetan berusia 346 tahun. Kebetulan HUT Magetan bersamaan dengan hari jadi yang ke-76 Provinsi Jawa Timur (Jatim). Beda usia karena HUT Jatim dihitung mulai bekerjanya gubernur pertama setelah kemerdekaan. Bukan waktu pembentukan. Jatim dibentuk ketika RMTA Soeryo ditetapkan sebagai gubernur pada 19 Agustus 1945, bersamaan pengangkatan tujuh gubernur, menteri, serta 16 residen.

Kala itu RMTA Soeryo merangkap sebagai residen Bojonegoro. Baru pada 12 Oktober 1945 RMTA Soeryo mulai bekerja di Surabaya sebagai gubernur. Karena itu, 12 Oktober ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jatim. Penetapan itu diambil berdasarkan nilai filosofis dan heroik nasionalisme yang tinggi.

Sedangkan hari jadi Kabupaten Magetan ditetapkan berdasarkan pengangkatan Basah Gondokusumo menjadi penguasa wilayah ini dengan gelar Yosonegoro, yang kemudian dikenal sebagai Bupati Yosonegoro. Peristiwa itu diyakini terjadi pada 12 Oktober 1675. Ditandai dengan candrasengkala ‘’Manunggaling Rasasuka Hambangun”.

Bisa dipahami mengapa kabupaten yang dibentuk di masa pemerintahan Hindia Belanda lebih tua usianya dari provinsi. Pada zaman itu, gubernur jenderal merupakan penguasa tertinggi di Hindia Belanda. Lalu di bawahnya ada residen dan di setiap kabupaten ada asisten residen. Pada akhir 1920-an, provinsi mulai dibentuk.

Ada ikatan emosional kuat antara hari jadi Kabupaten Magetan dan Provinsi Jatim. Secara kebetulan, tanggal dan bulannya sama. Ditambah gubernur pertama Jatim dulu adalah bupati Magetan yang menjabat pada 1938-1943. Beliau lahir pada 9 Juli 1898 di Magetan dan mengenyam pendidikan sekolah pamong praja atau lebih dikenal dengan Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA).

Pada pemerintahan Jepang, RMTA Soeryo diangkat sebagai residen Bojonegoro. Pengangkatan itu tentu sudah didasari pertimbangan matang. Dia dianggap punya kapasitas memadai. Mengingat, sejak zaman Mataram, bupati Magetan belum punya pengaruh besar di luar. Sehingga kapasitas pribadi menjadi salah satu pertimbangan.

Itu bisa dilihat dari minimnya sumber informasi tentang Magetan. Masih kalah dengan Madiun. Begitu banyak sumber informasi dan catatan. Mengingat bupati Madiun dikenal sebagai bupati Monconegoro yang merupakan bupati utama, yang mengoordinasi bupati-bupati di wilayah timur. Selain kekuasaannya lebih besar, dia juga dipercaya Sultan Hamengkubuwono.

Ketika Indonesia berdaulat, RMTA Soeryo diangkat sebagai gubernur Jatim. Dalam situasi masa transisi dan usaha kembalinya penjajah Belanda dengan membonceng Inggris, tugasnya pun menjadi berat. Jiwa kepahlawan dan nasionalisme betul-betul diuji. Sejarah mencatat, di tengah tekanan Inggris yang begitu hebat, Gubernur Soeryo menolak ultimatum menyerah sesuai kemauan Inggris.

Baca Juga :  Kebun Refugia Dibuka Tidak untuk Umum

Ketika pemerintahan Republik Indonesia berpindah ke Jogjakarta, dilakukan mutasi di kalangan pemerintah. Termasuk gubernur Jatim. Semula, RP Soeroso diangkat menggantikan RMTA Soeryo yang dilantik sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung di Jogjakarta. Pengangkatan RP Soeroso mendapat penolakan. Kemudian, pada Juni diangkat Dr Moerdjani sebagai gubernur baru.

Sebagai pejabat tinggi negara, RMTA Soeryo ikut berkantor di Jogjakarta. Menurut catatan, saat itu adiknya meninggal di Madiun. Lantaran pecah Madiun Affair, dia dicegah Bung Hatta untuk berangkat ke Madiun. Setelah peringatan 10 November 1948, RMTA Soeryo memaksa pulang. Di tengah jalan, di hutan wilayah Ngawi, dia bertemu rombongan Amir Sjariffudin yang akan menyingkir ke Purwodadi karena terdesak pasukan Siliwangi. Di situlah akhirnya beliau dibunuh dengan keji.

Almarhum saat ini dimakamkan dengan tenang di Magetan. Setiap tahun Pemerintah Kabupaten Magetan dan Provinsi Jatim selalu berziarah ke makam Gubernur Soeryo. Saya selalu merenung betapa besar pengorbanan para pendiri bangsa. Jiwa dan raganya diserahkan untuk kemerdekaan bangsa. Harapannya, kelak bangsanya hidup adil dan sejahtera.

Apakah harapan itu sudah terwujud? Tentu jawaban kita akan berbeda. Tergantung sudut pandangnya. Namun, jika melihat kiprah Jatim sampai saat ini, kita boleh cukup berbangga. Jakarta menjadi ibu kota Indonesia, kita tentu tahu. Bila Surabaya yang notabene ibu kota Jatim juga dipandang sebagai ibu kota Indonesia Timur, mungkin timbul tanda tanya.

Ibu kota bukan dalam arti tata negara. Namun, ibu kota dalam arti ekonomi dan kemajuan pembangunan. Karena ekonomi Indonesia Timur tergantung Surabaya atau Jatim. Bahkan, Timor Timur pun bergantung dengan Surabaya.

Magetan bagian dari Jatim. Kemajuan Jatim merupakan agregat dari kemajuan seluruh kabupaten/kota. Persoalannya, seberapa besar sumbangsih Magetan. Jangan-jangan hanya sebagai aksesori. Betapa ruginya. Dalam memperingati HUT ke-346, kita perlu mengambil spirit Gubernur Soeryo, putra asli Magetan, untuk mengejar ketertinggalan porsi peran di Jatim. (*/naz/c1)

Terpopuler

Artikel Terbaru