SEJAK kecil, remaja sampai sekarang, kecintaan saya terhadap olahraga tak pernah surut. Mulai dari sepak bola, voli, basket dan olahraga rakyat lainnya. Waktu SMP, SMA saya masuk tim voli dan basket sekolah. Bahkan ketika kuliah, saya juga masuk tim basket fakultas setiap ada turnamen basket antar fakultas di UGM dulu.
Saat sudah bekerja, setiap Jumat pagi selalu ikut olahraga di kantor. Bila ada pertandingan olahraga memeriahkan peringatan hari tertentu, saya selalu meramaikan. Kalau tugas ke luar kota, setelah sarapan pagi saya selalu berolahraga. Itulah mengapa saya selalu membawa pakaian olahraga.
Kalau di luar kota, saya biasanya jogging menuju pasar pagi. Kalau cuaca tidak mendukung, olahraga di hotel dengan treadmill. Kalau kotanya datar dan memungkinkan untuk bersepeda, seperti Aceh, Palembang, Padang, Jogjakarta, Denpasar, Ternate, Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya, saya selalu membawa sepeda lipat. Bisa olahraga sekaligus menikmati suasana pagi dengan nikmat.
Ketika keluar negeri, terutama Ketika musim panas, saya selalu jogging keluar hotel setiap pagi. Kalau musim dingin, saya cukup olahraga di hotel. Menggunakan fasilitas yang disediakan. Di manapun dan kapanpun, bila ada kesempatan saya selalu berolahraga.
Demikian pula ketika saya harus mengabdi di Magetan. Olahraga tak pernah saya tinggalkan. Saat HUT Kemerdekaan RI tahun 2019 lalu, digelar pertandingan voli di Pemrov Jatim. Persertanya pemain dari bakorwil dan kepala daerah, sekretariat daerah provinsi, dan Bank Jatim, saya ikut tim Bakorwil Madiun. Kami masuk final dan berhasil meraih juara pertama mengalahkan pejabat Bank Jatim.
Pada momen peringatan hari jadi ke-347 Magetan lalu, kembali digelar pertandingan voli. Pesertanya forkopimda, perewakilan OPD, kepolisian, TNI, sekretariat daerah dan dewan. Tentu saya tak ketinggalan ikut dalam tim forkopimda. Ketika main dan mengambil bola, otot betis saya ketarik.
Segera saya berobat ke RSUD dr Sayidiman. Setelah diperiksa dokter ortopedi, saya direkomendasikan untuk mengikuti pemeriksaan MRI. Supaya bisa dianalisa dengan tepat kondisi luka saya. Namun, pemeriksaan MRI baru ada di Surabaya. Setelah diperiksa, dokter tidak merekomendasikan saya untuk operasi.
Sebab robek yang terjadi hanya sekitar satu sentimeter. Cukup dirawat jalan. Sementara, kaki jangan dipakai menapak. Nanti akan sembuh dalam empat minggu. Satu minggu pertama, saya harus pakai kursi roda. Masuk minggu kedua, saya pakai tongkat kruk.
Cedera tentu menyiksa. Ya pasti. Tapi bagi saya, setiap peristiwa tidak boleh dimaknai negatif. Saya selalu mencari sisi positifnya. Cedera ini saya maknai beberapa hal.
Pertama, tubuh saya perlu istirahat. Kedua, saya bisa menyelesaikan rencana pembuatan buku tentang perjalanan saya menjadi bupati Magetan dalam bahasa Jawa. Sekaligus melakukan revisi tambahan buku autobiografi saya yang berjudul Dalane Uripku.
Seperti Idulfitri tahun ini. Selama libur hari raya, saya tak bisa kemana-mana. Memang sebagai pejabat publik, kita harus menjadi contoh yang baik dalam menaati imbauan pemerintah. Saya lalu berpikir, apa yang bisa saya lakukan untuk mengisi waktu selama libur. Saya putuskan menulis buku tentang Masjid Ki Mageti yang memang sudah saya rencanakan.
Ada alasan mengapa saya menulis Masjid Ki Mageti. Kelemahan kita adalah mencatat dan menulis. Setiap 17 Agustus, selalu ada agenda mengunjungi veteran di Magetan. Sambil berkunjung, saya membawa bingkisan dan sembako. Pulang berkunjung, berkecamuk dalam pikiran saya. Apakah demikian cara menghargai para pejuang bangsa ini.
Kemudian saya mendapat ide, apa tidak sebaiknya perjalanan hidup dan perjuangannya ditulis. Beliau diminta bercerita, mengapa memilih berjuang mengorbankan nyawa. Mengapa tidak memilih menjadi pedagang atau petani yang tak berisiko. Lalu dinarasikan dan dibukukan. Buku telah diterbitkan dengan judul Sejarah Perjuangan Veteran di Magetan. Saat diserahkan pada peringatan HUT Kemerdekaan RI, para veteran sampai menitikan air mata.
Kelak, apabila para veteran sudah tiada, buku Sejarah Perjuangan Veteran di Magetan yang kami terbitkan akan dibaca anak cucu mereka. Betapa bangganya anak dan cucu mengetahui kakek atau nenek mereka adalah pendiri negeri ini.
Alasan itu juga mendasari saya dalam menulis buku Sepenggal Kisah Pusaka Luhur Masjid Ki Mageti. Dalam buku itu saya menulis sejarah di balik pembangunan masjid tersebut.
Termasuk penggunaan saka guru dari masjid agung lama yang didirikan tahun 1886. Juga sejarah Islam di Magetan, ide pendirian, falsafah, serta panitia dan tukang yang membangun Masjid Ki Mageti. Supaya kelak anak cucu kita tahu sejarah Masjid Ki Mageti. Termasuk siapa tukangnya.
Demikian juga buku yang sedang saya tulis Ketika cedera kaki sekarang. Harapan saya, semoga perjalanan saya ketika didorong dan saya memutuskan untuk pulang mengabdi di Magetan dapat terekam. Sengaja saya tulis dalam bahasa Jawa, sebagai bentuk identitas saya sebagai orang Jawa. Tentu ini juga bagian dari benteng budaya Jawa. Semoga pilihan saya tidak salah.
Saat ini tulisan hampir selesai. Sudah 95 persen. Tinggal menyelesaikan sisanya, lalu editing, layout, mencetak, dan membuat versi digital. Setelah saya sembuh dan dapat beraktivitas normal, saya akan tetap memaknai positif cedera yang saya alami. Supaya saya bisa istirahat dan menghasilkan buku baru. (*/naz)