Prediksi terjadinya migrasi penggunaan BBM jenis pertamax ke pertalite maupun elpiji bersubsidi ke tabung tiga kilogram benar-benar menjadi kenyataan. Pasalnya, harganya relatif lebih murah.
Kenaikan harga BBM jenis pertamax berpotensi memicu sederet persoalan. Mulai gejolak harga komoditas lain di pasaran hingga potensi praktik curang oleh oknum tak bertanggung jawab.
Harga pertamax resmi naik mulai hari ini (1/4). Dari semula Rp 9 ribu per liter menjadi Rp 12.500 per liter. Meski demikian, kenaikan tersebut dinilai masih lebih rendah dibandingkan harga keekonomian pertamax yang berada di kisaran Rp 16 ribu per liter.
PT Pertamina (Persero) melalui Sub Holding Commercial & Trading yaitu PT Pertamina Patra Niaga terus berupaya agar penyaluran BBM Solar Subsidi (Biosolar) berjalan lancar dan tepat sasaran.
PT Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus meraih 8 penghargaan Indonesia Green Awards (IGA) 2022 yang diselenggarakan oleh The La Tofi School of CSR.
Migrasi massal ke elpiji subsidi tampaknya benar-benar terjadi. Buktinya, sejumlah pangkalan mencatat adanya tren penurunan penjualan elpiji nonsubsidi seiring kenaikan harga jenis bahan bakar itu.
Gonjang-ganjing penyesuaian harga elpiji belum usai, Pertamina menaikkan harga tiga jenis bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Yakni, pertamax turbo, pertamina dex, dan dexlite.
Pengguna elpiji nonsubsidi menjerit. Per 27 Februari lalu harga jenis bahan bakar itu naik menjadi Rp 15.500 per kilogram. Harga tersebut berlaku untuk tabung kemasan 5,5 maupun 12 kilogram. Padahal, baru Desember 2021 lalu Pertamina melakukan penyesuaian harga.
Regulasi berupa Peraturan Gubernur (Pergub) 6/2015 tentang harga eceran tertinggi (HET) LPG di Jatim tak bertaji di Magetan. Produk hukum itu sejatinya telah mengatur batas atas harga jual elpiji melon di angka Rp 16 ribu per tabung di tingkat pangkalan atau sub penyalur.